Kamis, 13 April 2017

Biaya Langsung Tunai (BLT) Serang Pemilih Jelang Pilkada

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan secara serentak untuk tahap kedua pada tanggal 15 Februari 2017 mendatang syarat dengan makna BLT. Namun sayang, bukan BLT (Biaya Langsung Tunai) program Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan sekarang telah diwariskan kepada Agus Harimurti yang menjadi salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta.
Tak ada yang aneh jika menggunkan istilah BLT dalam tulisan ini. Hanya saja BLT yang menjadi salah satu program unggulan mantan Presiden tersebut sudah menjadi viral di Indonesia. Terkait dengan sukses atau tidaknya bisa dinilai oleh setiap masyarakat Indonesia yang menerima BLT tersebut.
Saat ini, Biaya Langsung Tunai (BLT) yang kita bahas bukan program mantan Presiden RI atau pun calon Gubernur DKI Jakarta. Tetapi yang menjadi topik hangatnya adalah Biaya Langsung Tunai sebelum pencoblosan surat suara pada Pemilihan Kepala Derah pada tanggal 15 Februari 2017 yang sebentar lagi akan menghampiri.
Sebelum itu, evaluasi Pilkada serentak tahap pertama yang dilansir oleh Tempo bahwa Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) ada dua puluh tujuh daerah yang melakukan money politic. Tentu kaitannya Biaya Langsung Tunai (BLT) yang dibahas saat ini adalah money politic (BLT). Dalam kaitannya, Pilkada pada 9 Desember 2015 yang lalu meninggalkan kenangan yang tak menyenangkan bagi proses pelaksanaan demokrasi Indonesia.
Money politic (BLT) yang dilakukan oleh pasangan calon Kepala Daerah tersebut ada yang ditemukan dalam bentuk uang (fresh money) di sejumlah daerah, seperti  Kaur (Bengkulu), Gowa (Sulawesi Selatan), Rokan Hulu (Riau), Kepulauan Konawe dan Muna (Sulawesi Tenggara), Semarang (Jawa Tengah), serta Lampung Selatan, Pesawaran, dan Way Kanan (Lampung).
Uniknya, peserta pemilih dalam Pilkada 9 Desember 2015 tersebut langsung diberi fresh money senilai Rp 100-200 ribu di Bone Bolango, Gorontalo, serta pembagian uang sebesar Rp 50 ribu di Kecamatan Negeri Katon, Kecamatan Way Lima, dan Kecamatan Way Ratai yang terletak di Pesawaran, Lampung. Bahkan, terjadi pula pembagian uang sebesar Rp 50 ribu yang disertai pembagian C6 (undangan bagi pemilih) sebanyak 4 lembar di Gresik, Jawa Timur, dan juga pembagian C6 yang diselipi sejumlah uang yang berkisar antara Rp 15-20 ribu di Boyolali, Jawa Tengah.
Hilang Harpan Masa Depan Daerah
Dalam sejarah Pilkada di Indonesia tak ada yang namanya low money (sedikit uang). Karena persaingan secara sehat belum pernah ditunjukkan kepada mayarakat untuk memberi contoh pendidikan politik yang baik. Mengumbar uang hingga mengumbar kekuatan otot masih terjadi di beberapa daerah negeri ini.
Visi dan misi bukan lagi prioritas. Kesemrautan dan kemiskinan daerah terus menggugah. Seperti halnya yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kemiskinan pada masih berada pada angka 27,76 juta orang per September 2016 dengan tiga provinsi tingkat kemiskinan tertinggi yakni, Papua 28,40 persen, Papua Barat 25,73 persen, dan NTT 22,58 persen.
Tak bisa di pungkiri jika di awal telah memberi suara yang salah dalam Pilkada. Terutama salah bagi pasangan calon yang ‘membodohi’ rakyat dengan memberikan fresh money kepada sejumlah pemilih dengan feedback (timbal balik) memberikan hak suara. Sejatinya, pasangan calon Kepala Daerah memberikan contoh yang baik kepada calon pemilih. Membedah visi dan misi disetiap sudut daerah kepada masyarakat. Bukan memberikan ‘upah’ datang ke bilik suara atau tempat pemungutan suara (TPS) yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menunjukkan rencana pembanguna prioritas dengan rasio anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika politisi mengerti dan masih waras, pasangan calon Kepala Daerah akan menganalisa sejauh mana APBN tersebut bisa menambah dan mengubah menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Selama ini, sebagian daerah hanya sebagai pelengkap dari sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Bukan bersungguh-sungguh untuk bersaing dengan daerah tetangga, apalagi sampai bersaing dengan daerah yang berbeda pulau dan provinsi. Desentralisasi dan otonomi daerah hanya menjadi kedok bagi politisi daerah untuk menjadi raja kecil. Lucunya, tak sedikit politisi nasional yang turun gunung untuk Pilkada. Bahkan yang aneh pun terjadi, politisi gadungan berkutat di dalamnya.
Rakyat tak lebih dari seorang buruh politik yang diperalat oleh politisi disaat menjelang Pilkada. Menjadi tumbal makar, tumbal kebencian sosial, dan tumbal ancaman mental dan fisik. Masyarakat dipropaganda dengan saudaranya dan tetangganya. Hingga timbul kebencian dan konflik antara keluaraga yang berkepanjangan.
Pada intinya, Biaya Langsung Tunai (BLT) dalam Pilkada bukanlah solusi untuk memperbaiki negeri. Tetapi akan memperkeruh dengan ajaran sesat pasangan calon Kepala Daerah. Jika sudah demikian kejadiannya, maka bisa dipastikan akan hilang jati diri daerah. Pembangunan semraut, pelayanan publik terbengkalai, pegawai berlihai, Polisi dan Kejari  menjadi sasaran suap, bahkan DPRD akan menguap disaat sidang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah. Disaat seperti ini, maka sudah hilang harapan masa depan daerah. (SEMOGA*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar