Menjelang
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan secara serentak untuk tahap
kedua pada tanggal 15 Februari 2017 mendatang syarat dengan makna BLT. Namun
sayang, bukan BLT (Biaya Langsung Tunai) program Presiden ke-6 Susilo Bambang
Yudhoyono dan sekarang telah diwariskan kepada Agus Harimurti yang menjadi
salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta.
Tak
ada yang aneh jika menggunkan istilah BLT dalam tulisan ini. Hanya saja BLT
yang menjadi salah satu program unggulan mantan Presiden tersebut sudah menjadi
viral di Indonesia. Terkait dengan sukses atau tidaknya bisa dinilai oleh
setiap masyarakat Indonesia yang menerima BLT tersebut.
Saat
ini, Biaya Langsung Tunai (BLT) yang kita bahas bukan program mantan Presiden
RI atau pun calon Gubernur DKI Jakarta. Tetapi yang menjadi topik hangatnya
adalah Biaya Langsung Tunai sebelum pencoblosan surat suara pada Pemilihan
Kepala Derah pada tanggal 15 Februari 2017 yang sebentar lagi akan menghampiri.
Sebelum
itu, evaluasi Pilkada serentak tahap pertama yang dilansir oleh Tempo bahwa
Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) ada dua puluh tujuh daerah yang melakukan money politic. Tentu kaitannya Biaya
Langsung Tunai (BLT) yang dibahas saat ini adalah money politic (BLT). Dalam kaitannya, Pilkada pada 9 Desember 2015
yang lalu meninggalkan kenangan yang tak menyenangkan bagi proses pelaksanaan
demokrasi Indonesia.
Money politic
(BLT) yang dilakukan oleh pasangan calon Kepala Daerah tersebut ada yang
ditemukan dalam bentuk uang (fresh money)
di sejumlah daerah, seperti Kaur
(Bengkulu), Gowa (Sulawesi Selatan), Rokan Hulu (Riau), Kepulauan Konawe dan
Muna (Sulawesi Tenggara), Semarang (Jawa Tengah), serta Lampung Selatan,
Pesawaran, dan Way Kanan (Lampung).
Uniknya, peserta pemilih dalam Pilkada 9 Desember 2015
tersebut langsung diberi fresh money senilai Rp 100-200 ribu di Bone Bolango,
Gorontalo, serta pembagian uang sebesar Rp 50 ribu di Kecamatan Negeri Katon,
Kecamatan Way Lima, dan Kecamatan Way Ratai yang terletak di Pesawaran,
Lampung. Bahkan, terjadi pula pembagian uang sebesar Rp 50 ribu yang disertai
pembagian C6 (undangan bagi pemilih) sebanyak 4 lembar di Gresik, Jawa Timur,
dan juga pembagian C6 yang diselipi sejumlah uang yang berkisar antara Rp 15-20
ribu di Boyolali, Jawa Tengah.
Hilang Harpan Masa Depan Daerah
Dalam
sejarah Pilkada di Indonesia tak ada yang namanya low money (sedikit uang). Karena persaingan secara sehat belum
pernah ditunjukkan kepada mayarakat untuk memberi contoh pendidikan politik
yang baik. Mengumbar uang hingga mengumbar kekuatan otot masih terjadi di
beberapa daerah negeri ini.
Visi
dan misi bukan lagi prioritas. Kesemrautan dan kemiskinan daerah terus
menggugah. Seperti halnya yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa
kemiskinan pada masih berada pada angka 27,76 juta orang per September 2016 dengan
tiga provinsi tingkat kemiskinan tertinggi yakni,
Papua 28,40 persen, Papua Barat 25,73 persen, dan NTT 22,58 persen.
Tak bisa di pungkiri jika di awal telah memberi suara yang
salah dalam Pilkada. Terutama salah bagi pasangan calon yang ‘membodohi’ rakyat
dengan memberikan fresh money kepada
sejumlah pemilih dengan feedback
(timbal balik) memberikan hak suara. Sejatinya, pasangan calon Kepala Daerah
memberikan contoh yang baik kepada calon pemilih. Membedah visi dan misi
disetiap sudut daerah kepada masyarakat. Bukan memberikan ‘upah’ datang ke
bilik suara atau tempat pemungutan suara (TPS) yang disediakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU).
Menunjukkan rencana pembanguna prioritas dengan rasio
anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika
politisi mengerti dan masih waras, pasangan calon Kepala Daerah akan
menganalisa sejauh mana APBN tersebut bisa menambah dan mengubah menjadi
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Selama ini, sebagian daerah hanya sebagai pelengkap dari
sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Bukan bersungguh-sungguh untuk
bersaing dengan daerah tetangga, apalagi sampai bersaing dengan daerah yang
berbeda pulau dan provinsi. Desentralisasi dan otonomi daerah hanya menjadi
kedok bagi politisi daerah untuk menjadi raja kecil. Lucunya, tak sedikit
politisi nasional yang turun gunung untuk Pilkada. Bahkan yang aneh pun
terjadi, politisi gadungan berkutat di dalamnya.
Rakyat tak lebih dari seorang buruh politik yang diperalat
oleh politisi disaat menjelang Pilkada. Menjadi tumbal makar, tumbal kebencian
sosial, dan tumbal ancaman mental dan fisik. Masyarakat dipropaganda dengan
saudaranya dan tetangganya. Hingga timbul kebencian dan konflik antara
keluaraga yang berkepanjangan.
Pada intinya, Biaya Langsung Tunai (BLT) dalam Pilkada
bukanlah solusi untuk memperbaiki negeri. Tetapi akan memperkeruh dengan ajaran
sesat pasangan calon Kepala Daerah. Jika sudah demikian kejadiannya, maka bisa
dipastikan akan hilang jati diri daerah. Pembangunan semraut, pelayanan publik
terbengkalai, pegawai berlihai, Polisi dan Kejari menjadi sasaran suap, bahkan DPRD akan
menguap disaat sidang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala
Daerah. Disaat seperti ini, maka sudah hilang harapan masa depan daerah.
(SEMOGA*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar