Bermacam bentuk
dan model pemilu yang sudah di lakukan dan dilaksanakan oleh negara indonesia,
mulai dari Pemilu 1955, Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah
bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau
dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti
selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga
menjawab pertanyaan tersebut. Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah
kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945,
pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan
pemilu pada awal tahun 1946.
Pemilu 1971, Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi
pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia
juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi
kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar
Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR
1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan
diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap
menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan
pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota
yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa
diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto
berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian
(tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992,
dan 1997, Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu
yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6
tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal
sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur
dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya
adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan
satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR
berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golkar.
Pemilu 1999, Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya
pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau
dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera
diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13
bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya
Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk
dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang
merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian
dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan
wakil presiden yang baru.
Pemilu 2004, Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang
memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara
pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini,
rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden
dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui
Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden
tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) — pada pemilu ini, yang
dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden),
bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah
Pemilu 2009, Tahun 2009 merupakan tahun Pemilihan Umum (pemilu) untuk
Indonesia. Pada tanggal 9 April, lebih dari 100 juta pemilih telah memberikan
suara mereka dalam pemilihan legislatif untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Pada tanggal 8 Juli, masyarakat Indonesia sekali lagi akan
memberikan suara mereka untuk memilih presiden dan wakil presiden dalam
pemilihan langsung kedua sejak Indonesia bergerak menuju demokrasi di tahun
1998. Jika tidak ada calon yang mendapatkan lebih dari 50 persen suara, maka pemilihan
babak kedua akan diadakan pada tanggal 8 September 2009.
Dari berbagai bentuk pemilu yang
telah dilaksanakan di indonesia tidak lain adalah untuk mendapatkan kekuasaan
dan kewenangan melalui pilihan anggota dewan pada pemilu sebelum reformasi dan
pemilihan lansung oleh masyarakat setelah reformasi. Artinya masyarakat sudah
berhak menentukan pilihannya sendiri dengan lansung dan rahasia. Hal inilah
yang diinginkan oleh masyarakat indonesia guna menentukan pemimpin dan tepat
mengadunya masyarakat. Hal ini sudah tidak terlepas dari yang namanya demokrasi
karena rakyatlah yang menentukan peilihnnya untuk mengarahkan rakyat ke arah
yang lebih baik. 2014 adalah penentuan bagi mereka yang melaju ke kursi pejabat
negara, baik presiden, DPR RI, DPD, DPRD/DPRA Dan DPRK.
Dalam pesta demokrasi nanti ada
yang senyum dan ada yang cebrut, artinya ada yang menang dan ada yang kalah.
Bagi mereka yang menang bisa tersenyum dengan lebar untuk merayakan
kemenangannya dan bagi mereka yang kalah akan cemberut,
silau, dan meringis memikirkan nasibnya yang tidak beruntung dan kurang
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Hal
ini hampir sama dengan sebuah ajang pertandingan, karena yang membedakan
hanyalah tingkat kepercayaan masyakat sedangkan pertandingan tidak membutuhkan
kepercayaan dari orang lain. Kalau mental, skill dan fisik sudah bagus maka
tidak tertutup kemungkinan ia akan menang, tapi kalau dalam merebut kursi
menjadi pejabat negara tidak cukup hanya dengan mental, skill dan fisik. Yang
paling penting untuk menang adalah kepercayaan masyarakat.
Tentu dalam pelaksanaannya banyak
yang memulai dengan berbagai macam bentuk pendekatan kepada masyarakat baik
dalam bentuk mencari saudara yang dulu telah terlupakan atau pun saudara
kandung sekalipun. Para Caleg sudah mulai sibuk mencari dukungan dengan berbagi
cara yang dilakukan. Dalam hal ini pasti mengeluarkan modal dengan jumlah yang
lumayan besar. Modal yang di keluarkan itu seperti sulit di ikhlaskan ketika
dalam penghitungan suara dan pengumuman siapa yang beruntung mendapat kursi
menjadi pejabat negara, ada pun dana yang di keluarkan tidak terlepas dari
keperluan promosi diri dalam pencetakan Baliho, Benner dan media-media yang
siap membantu dalam pengenalan dirinya kepada masyarakat luas. Sehinnga dalam
hal ini ada yang senang dan bangga karena sudah dipercaya oleh masyarakat ada
juga yang cemberut dan bersedih dalam menerima kekalahannya.